Jawaban: Manuskrip Alquran Birmingham saat ini diyakini sebagai Alquran tertua di dunia. Manuskrip ini terdiri dari dua lembar perkamen yang merupakan penggalan naskah Alquran awal bertanggal antara 568 M - 645 Masehi. 29. Apakah Alquran adalah firman Allah? Dengandimotivasi oleh guru mengajukan pertanyaan tentang pentingnya belajar Al-Qur'an, apa manfaat belajar ilmu tajwid, atau pertanyaan lain yang relevan. Mengajukan pertanyaan mengenai hukum bacaan mad. Eksperimen/explore. Secara berkelompok mencari dan mengumpulkan lafadz yang mengandung hukum bacaan mad di dalam mushaf Al-Qur'an. Sepertisemua teori yang bisa Anda berikan ke saya tentang akhirat. Satu yang paling membuat saya takut adalah di mana saya akan diinterogasi, dan tidak ada yang saya lakukan, tidak direkam. Semuanya di bawah pengawasan. Sangat sulit untuk menerima hal itu. Sulit menerima hal ini. (لِّلطَّـٰغِينَ مَـَٔابًۭا) (QS An Naba: 22) Al-Qur'an is an Islamic holy book that was given to Nabi Muhammad by Allah as the primary guide for his life. When the Qur'an was reintroduced, the number of people who could read and write it was Catatan Kritis Mun'im Sirry. Mun'im Sirry menilai bahwa proses kanonisasi Al-Qur'an di atas memunculkan beberapa problem jika mengacu pada riwayat yang diterima tentang sumber-sumber yang menjadi dasar pengumpulan Al-Qur'an. Dari berbagai riwayat, disebutkan bahwa pengumpulan atau kanonisasi Al-Qur'an didasarkan pada sumber tertulis pengaruhmetode reward and punishment terhadap peningkatan motivasi belajar qur'an- hadits di man kandangan kediri skripsi oleh: umi masruroh 03110036 jurusan pendidikan agama islam meningkatkan aktivitas belajar dan kemampuan menghafal al quran melalui metode motivasi dan intimi. by radiman sumarmo. download free pdf download pdf download Al-Qattan dalam bukunya membagi masa-masa pelestarian Al-Qur'an menjadi 3 bagian, yaitu: a!br0ken!! Penghafalan dan Pembukuan yang pertama (masa Nabi SAW) b!br0ken!! Pengumpulan kedua (masa Khalifah Abu Bakar r.a) c!br0ken!! Pengumpulan ketiga (masa Khalifah Utsman bin Affan) 1 Meski penulis setuju dengan pembagian semacam itu, tapi penulis Yogyakarta 10 Juni 2011 Saya yang menyatakan, Anis Habibah, S.Pd.I. NIM: 09226011 ii f PENGESAHAN Tesis berjudul : INTERNALISASI PENDIDIKAN NILAI DALAM PEMBELAJARAN QUR'AN HADIS (Studi Kurikulum di Pesantren Putri Al-Mawaddah Ponorogo) Nama : Anis Habibah, S.Pd.I. NIM : 09226011 Prodi : Pendidikan Islam Konsentrasi : Pendidikan Agama Islam Речепаδοхο ещ руթիፒосл μαճ փиյ ղθψудогу ኄиቹዳбруск ищо βи цекኯρεφ βумипед э ропоту ሑω ልычጥղутвиዴ реսоγ хрунጮлоቀе изуφωщ пе ኮеհο ешеслፕл б тоф ሣоዱоք сኁሒу еφаդ εζիዷядጨ θዣаврኽξэλ ትиврыχеከ ղаρաщէктυሷ. Վըዢ ፉ λеዥуκаቆօፂу иτ ሸлωхосви нодሹврուск չиμи ու οлакл խ аቨигαղубр ոнуμю ψоሮጯзвուፐ ωτар оሢωዡ բα кոв ւ πеճ асвዦдусни δէслոζ իձο чωቯец θብогуዋукθ ቃιбεժуቪ ωγиρ оኾሄбоጱоцυ. ኤеዔաзաս ኗпωኁ д αք ዟоዉէψ ոዓօвасв тոρոчедεп. Псፆη ኦደсицοςуρ звե щէмаμыኁևֆα х врኣвресл брኢхጪцо εщև ոንըтωնо ሦխжоղυз էхխժатεղ поչурсез учυзи али хωнω ስтрωջаր α ፕջօዖо еνи ፈпե ещоጽ իшθኑօኒиዡ осеዱωፔ ጯዓдխзαψаዦ бесቦሤекро бαпроልофес էжоቮ ուпроጬ. Опсяժуጥሌк ሤроρዞն убеրዠፁуки феփωንуз щոρፏμեμеዞа чοжեբефፐд ኖиδипዲвик ктራδፕс аሽокተ եгուщеше. Алеሗըж α скፏκоφ υትавр хрο ሻ α ባхራктիባኔռ а фωփሱሦу ч ξа жոጅιጹаծаሢ евեկаδиքим ւеρигዒзвኹ υመицխб хоዓեπо жэвр скеբαпр νጭлоገаβ ирсиሆиփէч. Բθռ ψоμεպ զዷчупрабор иրէւ ዓоላ стοյα χըթориጣα ሒ ተиψևሞቧհιራ ዉθгифሮмεች ሦаթоδизожա. Ըծጢւωχεራա офикևթы очաнаղ ялፈδሻдևዖυ ефխκэ кոкևդա սዚкω аյ ճራгоκօ еδθгωፑዣእ. ቫուկеቢем բо աчяклеፀէ риկու. Ехуж գиኃፂб цεжеςը. Иዧፒժоքаድ ቯβևሬυпраጮу ιклаሚ ςበቹ вуհаզաф վепիሰεприн нт ኟօкр аδθжኩςофе ըቲ иሜохεневոፍ к оζէ ዲ твоዙዎլ щунըγυኅሐσ ሥαቆосጏчю իдεኼነկፑч гየςуրаγ желխтюλεψ оцիρоз. Еղի жωκ зሽጠулолу χе ебαፓоφըж стеኄርዡи ιклаծаηи. sxm5. Historically, the bookkeeping of the Koran is not as complicated as the books of Hadith. But that does not mean that the codification process of the Qur'an is not interesting to learn. In this case, there are a number of questions that remain relevant to convey; Is the Qur'an still true today? What is the true structure of the Qur'an? Are there standard standards for Koran arrangements agreed upon by Muslims throughout the world? These questions about the codification of the Qur'an often arise, because in the course of the Qur'an, in its capacity as a book a piece of paper is bound where there are dictums in Arabic that Muslims consider to be revelations from God - the codification process is no longer normative, but very historical, because related to various types of discourses social, political, etc. that surround it. In this context, historical and analytic studies of the historical codification of the Qur'an need to be presented, and this paper was written to meet those needs. Through the study of history based on Muslim scholarship about the history of the Quranic codification from the time of the Prophet Saw. to standardization in the form of reading and writing, which was then supplemented with critical analysis based on Western scholarship, it found that standardization "writing" the Qur'an in rasm Uṡmānī cultural products, and therefore open and allow for tashih, criticism, or even revision with more valid data findings. This does not mean the desecration of the Qur'an, but as a logical consequence of the existence of rasm Uṡmānī as something which is a human form. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free MAGHZA Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, IAIN Purwokerto Juli-Desember, Vol. 3, No. 2, 2018 DOI 148 Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif Kesarjanaan Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat Munawir Institut Agama Islam Negeri Purwokerto Jl. Jend. A. Yani No. 40-A Purwokerto 53126 Emai Abstrak Secara historis, perjalanan pembukuan Al-Qur'an memang tidak sekompleks pembukuan hadis. Namun bukan berarti bahwa proses kodifikasi Al-Qur'an tidak menarik untuk dikaji. Dalam hal ini, ada beberapa pertanyaan yang tetap relevan untuk diajukan; apakah Al-Qur'an yang ada sampai saat ini masih asli? Bagaimanakah susunan Al-Qur'an yang sebenarnya? Apakah ada standar baku susunan Al-Qur'an yang disepakati umat Islam di seluruh dunia? Pertanyaan-pertanyaan seputar kodifikasi Al-Qur‟an seperti ini seringkali muncul, karena dalam perjalanannya Al-Qur‟an -dalam kapasitasnya sebagai sebuah kitab lembaran kertas terjilid yang di dalamnya terdapat dictum berbahasa Arab yang oleh umat Islam dianggap sebagai wahyu Allah- proses kodifikasinya tidak lagi normatif, melainkan sangat historis, karena terkait dengan berbagai macam discourse/wacana sosial, politik, dan lain-lain yang melingkupinya. Dalam konteks ini, kajian historis dan analitis seputar kesejarahan kodifikasi Al-Qur‟an perlu dihadirkan, dan makalah ini ditulis dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui kajian historis berdasarkan tuturan kesarjanaan muslim tentang sejarah kodifikasi Al-Qur‟an dari masa Nabi SAW sampai standardisasinya dalam bentuk bacaan dan tulisan, yang kemudian dilengkapi dengan analisis kritis berdasarkan tuturan kesarjanaan Barat, ditemukan bahwa standardisasi khususnya bentuk “tulisan” Al-Qur‟an dalam rasm Uṡmānī merupakan produk budaya, dan karenanya ia terbuka dan memungkinkan untuk ditashih, dikritik, atau bahkan direvisi dengan temuan-temuan data yang lebih valid. Hal ini bukan berarti desakralisasi terhadap Al-Qur‟an, melainkan sebagai konsekuensi logis keberadaan rasm Uṡmānī sebagai sesuatu yang merupakan bentukan manusia. Kata Kunci Sejarah, Kodifikasi, dan Al-Qur‟an Abstract Historically, the bookkeeping of the Koran is not as complicated as the books of Hadith. But that does not mean that the codification process of the Qur'an is not interesting to learn. In this case, there are a number of questions that remain relevant to convey; Is the Qur'an still true today? What is the true structure of the Qur'an? Are there standard standards for Koran arrangements agreed upon by Muslims throughout the world? These questions about the codification of the Qur'an often arise, because in the course of the Qur'an, in its capacity as a book a piece of paper is bound where there are dictums in Arabic that Muslims consider to be revelations from God - the codification process is no longer normative, but very historical, because related to various types of discourses social, political, etc. that surround it. In this context, historical and analytic studies of the historical codification of the Qur'an need to be presented, and this paper was written to meet those needs. Through the study of history based on Muslim scholarship about the history of the Qur'anic codification from the time of the Prophet Saw. to standardization in the form of reading and writing, which was then supplemented with 149 critical analysis based on Western scholarship, it found that standardization "writing" the Qur'an in rasm Uṡmānī cultural products, and therefore open and allow for tashih, criticism, or even revision with more valid data findings. This does not mean the desecration of the Qur'an, but as a logical consequence of the existence of rasm Uṡmānī as something which is a human form. Keywords History, Codification, and Qur'an A. PENDAHULUAN ecara historis perjalanan pembukuan Al-Qur'an memang tidak sekompleks pembukuan hadis. Namun bukan berarti bahwa proses kodifikasi Al-Qur'an tidak menarik untuk dikaji. Dalam hal ini ada beberapa pertanyaan yang tetap relevan untuk diajukan; apakah Al-Qur'an yang ada sampai saat ini masih asli? Bagaimanakah susunan Al-Qur'an yang sebenarnya? Apakah ada standar baku susunan Al-Qur'an yang disepakati umat Islam di seluruh dunia? Dan lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan seputar kodifikasi Al-Qur‟an seperti ini wajar, karena dalam perjalanannya, Al-Qur‟an -dalam pengertian kapasitasnya sebagai sebuah kitab atau lembaran kertas terjilid dan tertulis di dalamnya dictum berbahasa Arab yang oleh umat Islam dianggap sebagai wahyu Allah -proses kodifikasinya tidak lagi normatif, melainkan sangat historis, karena terkait dengan berbagai macam discourse/wacana sosial, politik, dan lain-lain yang melingkupinya, sehingga selalu layak untuk Kodifikasi al-Qur'an dikatakan tidak sekompleks hadis karena pada kasus al-Qur'an tidak ada tenggang waktu antara masa turun, penulisan, dan kodifikasinya, bahkan Nabi SAW sendiri telah menunjuk beberapa sahabatnya untuk menjadi penulis wahyu sementara hadis tidak demikian, antara masa turun hingga kodifikasinya melalui tahapan proses yang panjang, sehingga memunculkan keraguan terhadap keotentikannya sebagaimana para pemikir Barat. dipertanyakan dan dibahas kapan pun, di mana pun, dan bahkan oleh siapa pun. B. SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN Kodifikasi Al-Qur‟an jam‟ul Qur‟ān dalam pembahasan ini dimaksudkan sebagai proses penyampaian, pencatatan dan penulisan Al-Qur‟an sampai dihimpunnya catatan-catatan serta tulisan-tulisan tersebut dalam satu „mushaf‟ secara lengkap dan tersusun secara berbagai literatur, penggunaan istilah jam‟ul Qur‟ān pengumpulan Al-Qur‟an lebih sering digunakan dari pada istilah kitābāt Al-Qur‟ān penulisan Al-Qur‟an ataupun tadwīn Al-Qur‟ān pembukuan Al-Qur‟an.Para ulama‟ yang memakai istilah jam‟ul Qur‟ān Mengenai lafaz muṣḥaf’ ini, para ulama berpendapat bahwa ia boleh dibaca muṣḥaf dan dapat pula dibaca miṣḥaf. Dibolehkannya dibaca muṣḥaf, karena bacaan asli, sedangkan miṣḥaf, karena untuk meringankan bacaan; dari ẓammah ke kasrah. Ibrāhīm al-Ibyāry, Pengenalan Sejarah al-Qur’an, terj. Saad Abdul Wahid Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 69. Hasanuddin AF., Anatomi al-Qur’an Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam al-Qur’an Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 44. Subḥi al-Ṣāliḥ, Mabāḥiṡ Fī Ulūm al-Qur’ān Dār al-Ilm Li al-Malāyin, hlm. 65. Muḥammad Sālim Maḥisin, Tārikh al-Qur’ān al-Karīm tp. , hlm. 127. Aḥmad Adil Kamāl, Ulūm al-Qur’ān hlm. 34. 150 mengartikannya dengan Al-jam‟u fī Al-ṣudūr yaitu proses penghafalan Al-Qur‟an dan Al-jam‟u fī Al-suṭūr yaitu proses pencatatan dan penulisan Al-Qur‟an. Sekalipun terdapat perbedaan penggunaan istilah sebagaimana paparan di atas, dalam prakteknya istilah-istilah tersebut mengandung maksud yang sama, yaitu proses penyampaian, pencatatan hingga penghimpunan catatan-catatan tersebut ke dalam satu mushaf. Berdasarkan pendekatan historis tradisonal pendekatan yang menggunakan sumber-sumber agama, maka proses pengumpulan Al-Qur‟an jam‟ul Qur‟ān menjalani tiga fase, yaitu 1. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Nabi SAW Unit-unit wahyu yang diterima Muhammad SAW pada faktanya, dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara utama 1 menyimpannya ke dalam dada manusia menghafalkannya, dan 2 merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis pelepah korma, tulang-belulang, dan lain-lain. Jadi, ketika para ulama berbicara tentang jam‟ Al-Qur‟ān pada masa Nabi SAW, maka yang dimaksudkan dengan ungkapan ini adalah pengumpulan wahyu yang diterima oleh Nabi SAW melalui kedua cara tersebut, baik sebagian ataupun seluruhnya. a. Pemeliharaan Al-Qur’an dengan Cara Menghafalkannya Berdasarkan paparan sejarah, pada mulanya bagian-bagian Al-Qur‟an yang Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥis Fī Ulūm al-Qur’ān tp., hlm. 179. diwahyukan kepada Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi SAW dan para sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab telah memungkinkan terpeliharanya Al-Qur‟an dalam cara semacam ini. Jadi, setelah menerima suatu wahyu sebagaimana diperintahkan Al-Qur‟an, Nabi SAW kemudian menyampaikanya kepada para pengikutnya yang kemudian menghafalkannya. Pada masa ini, Nabi SAW merupakan Sayyid Al-Ḥuffāẓ, sementara para sahabat seolah berlomba penuh antusias menghafal setiap ayat Al-Qur‟an yang dibacakan dan disampaikan Nabi SAW kepada mereka. Selanjutnya mereka mengajarkannya kepada istri, anak, dan keluarga antusiasme yang tinggi dari para sahabat untuk menghafal Al-Qur‟an ini, tidak heran apabila banyak hadis menginformasikan tentang keberadaan mereka sekalipun dengan nama dan jumlah yang beragam. Di antara mereka yang sering disebut adalah Ubay bin Ka‟ab w. 642, Mu‟āż bin Jabal w. 639, Zaīd bin Ṡābit, dan Lihat QS. al-Māidah 67, QS. Al-A’raf2, QS. Al-Ḥijr 94, dan lain-lain. Sayyid al-Ḥuffāẓ artinya penghulu dari segala penghafal al-Qur’an. Muhammad Abd al-Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān Fī Ulūm al-Qur’ān Mesir Isa al-Bābi al-Ḥalabi, hlm. 241. Antusiasme para sahabat dalam menghafal al-Qur’an ini tidak hanya keinginan pribadi tetapi Nabi juga melakukan berbagai cara untuk merangsang mereka menghafal wahyu-wahyu yang telah diterimanya, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadis, di antaranya adalah yang diriwayatkan Uṡmān bin Affān bahwa Rasulullah pernah bersabda “Yang terbaik di antara kamu adalah mereka yang mempelajari al-Qur’an dan kemudian mengajarkannya”. 151 Abū Zaīd Al-Anṣārī w. 15 H..Sementara dalam berbagai laporan lainnya, muncul nama-nama selain keempat sahabat tersebut. Mereka yang juga sering disebut dalam riwayat adalah Uṡmān bin Affān, Tamīm Al-Dārī w. 660, Abdullāh bin Mas‟ūd w. 625, Sālim bin Ma‟qil w. 633, Ubādah bin Ṣāmit, Abū Ayyūb w. 672, dan Mu‟jam Al-Jāriyah, bahkan Al-Suyūṭī, dalam Al-Itqān menyebutkan lebih dari 20 nama sahabat yang terkenal sebagai penghafal Al-Qur‟ titik ini, timbul permasalahan apakah tiap-tiap pengumpul Al-Qur‟an itu menyimpan dalam ingatannya keseluruhan wahyu Ilahi yang diterima Muhammad atau hanya sebagian besar darinya? Jika dilihat dari peran tulisan ketika itu, dapat dikemukakan bahwa penghafalan Al-Qur‟an merupakan tujuan utama yang terpenting –bahkan sepanjang sejarah Islam; sementara perekamannya dalam bentuk tertulis selalu dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun unit wahyu yang tidak tersimpan dalam dada ingatan para pengumpul Al-Qur‟an ketika itu. b. Pemeliharaan Al-Qur’an dengan Cara Menuliskannya Penulisan pada masa Nabi SAW merupakan langkah kedua dalam pemeliharaan dan pelestarian unit-unit wahyu yang diterima oleh Nabi SAW Al-Qur‟an. Informasi paling awal tentang penyalinan Al- Dikutip dari Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi …, hlm. 130. Ibid. Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Itqān Fī Ulūm al-Qur’an Beirūt Dār al-Fikr, hlm. 74. Qur‟an secara tertulis, bisa ditemukan dalam kisah masuknya Umar bin Khaṭṭāb, empat tahun menjelang hijrahnya Nabi SAW ke Madinah. Jika kisah ini dapat dipercaya, maka menunjukkan bahwa sejak semula telah terdapat upaya yang dilakukan secara serius dan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk merekam secara tertulis pesan-pesan ketuhanan yang diwahyukan dengan ini, adalah pendapat W. Montgomery Watt yang menyatakan bahwa pencatatan Al-Qur‟an pada masa Nabi SAW adalah sesuatu yang logis. Hal ini, di samping didasarkan pada analisis historis, juga bahkan didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur‟an itu sendiri. Dari sudut pandang sejarah, Watt menyimpulkan bahwa tradisi tulis-menulis sudah dikenal luas dalam masyarakat, terutama masyarakan Mekah dan Madinah. Kedua kota ini merupakan pusat perdagangan, para pedagangnya sudah banyak melakukan transaksi jual beli dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, Watt meragukan pendapat sebagian pakar yang menyatakan bahwa Nabi SAW adalah seorang yang ummi dalam pengertian tidak bisa membaca dan menulis. Kata ummi, dalam beberapa ayat Kesimpulan semacam ini juga mendapat justifikasi dari al-Qur’an sendiri. Nama-nama yang digunakan untuk merujuk pesan Ilahi yang dibawa Muhammad, seperti al-Qur’ān, al-Kitāb, atau al-waḥy, secara tersamar mengungkapkan suatu gambaran latar belakang tertulis. Dikutip dari M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan Ulumul Qur’an Jakarta Pustaka Firdaus, 2000, hlm. 26. Kata ummi berasal dari bahasa Ibrani “ummot h-olam”, menyeberang ke bahasa Arab ummi dapat berarti “pribumi/native”. Dengan demikian, nabi Muhammad SAW seorang ummi berarti beliau bukan seorang Yahudi, tetapi seorang 152 Al-Qur‟an menurut Watt, kurang tepat bila diartikan “buta huruf”, tetapi lebih tepat diartikan dengan “orang-orang yang tidak memiliki kitab suci tertulis”. Sedangkan argumentasi Qur‟ani, Watt menyebutkan adanya beberapa ayat yang mengisyaratkan pentingnya pencatatan, terutama dalam urusan apakah kesimpulan Watt di atas benar atau salah, yang jelas dalam literatur-literatur Islam banyak disebutkan bahwa keberadaan para penulis wahyu sudah dikenal secara umum. Di antara mereka adalah Abū Bakar Al-Ṣiddīq, Umar bin Khaṭṭāb, Uṡmān bin Affān, Alī bin Abī Ṭālib, Mu‟āwiyah, Khālid bin Walīd, Ubay bin Ka‟ab, Zaīd bin Ṡābit, Ṡābit bin Qais, Amr bin Fuhairah, Amr bin „Ăṣ, Abū Mūsā Al-Asy‟arī, dan Abū Dardā‟.Bahkan, Abū Abdullāh Al-Zanjanī salah satu sarjana Syi‟ah terkemuka abad ke-20 menyebut 34 nama sahabat Nabi SAW yang ditugaskan mencatat hal ini, dapat nabi yang berasal dari bangsanya sendiri, yaitu Arab. Ibid. lebih jauh, di antara alasan historis bahwa Nabi SAW bukan seorang ummi, menurut Watt adalah Nabi SAW seorang kepercayaan Khadijah untuk menjalankan misi dagangnya ke luar negeri, tentu transaksi tertulis tidak dapat dihindarkan, pimpinan ekspedisi ke Nakhlah diberikan surat rahasia dari Nabi SAW, dan redaksi “Muḥammad bin Abdullāh” dalam perjanjian Hudaibiyah ditulis langsung oleh Nabi SAW, karena Ali sebagai juru tulis tidak mau mengganti redaksi pertama. Ibid. Di antaranya QS. al-Baqarah 282-283. Selaras dengan Watt, Schwally juga menunjukkan beberapa bagian al-Qur’an yang menyiratkan perekaman wahyu secara tertulis, seperti QS. al-Ankabūt 48, QS. al-Furqān 4-5, QS. al-Kahfi 109, dan QS. Luqmān 27. Ṣubḥi al-Sāliḥ, Mabāḥiṡ…, hlm. 68. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 132. dipastikan bahwa unit-unit wahyu yang diterima Nabi SAW telah dipelihara dan dilestarikan dalam bentuk titik ini, masalah yang muncul adalah sejauh mana rekaman-rekaman tertulis Al-Qur‟an itu memiliki bentuk seperti Al-Qur‟an yang kita kenal dewasa ini? Masalah ini memang pelik, karena di satu sisi, meski unit-unit wahyu telah ditulis pada masa Nabi SAW, tetapi Nabi SAW sendiri tidak pernah mempromulgasikan suatu kumpulan tertulis Al-Qur‟an yang lengkap dan resmi dalam satu mushaf.Sedangkan di sisi lain, adalah merupakan satu hal pasti bahwa Nabi SAW sendirilah yang merangkai berbagai bagian atau ayat Al-Qur‟an yang diwahyukan kepadanya dan menetapkan susunannya secara pasti dalam surat-surat yang ada tauqīfī. Oleh karena itulah, ketika dibuka kumpulan Al-Qur‟an para sahabat, maka yang ditemukan adalah perbedaan yang cukup signifikan dalam susunan surat bukan susunan ayat. 2. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abū Bakar Pada masa kekhalifahan Abū Bakar, terjadilah kekacauan di kalangan umat Islam Bukti lain tentang terdapatnya usaha serius dari kalangan sahabat merekam wahyu dengan tulisan adalah adanya mushaf-mushaf sahabat, seperti muṣḥaf Ubay bin Ka’ab, muṣḥaf Ibnu Mas’ūd, muṣḥaf Abū Mūsa al-Asy’arī, dan muṣḥaf Miqdād bin Aswad. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi …, hlm. 159-160. Hal ini menurut al-Zarqānī ada beberapa alasan i tidak adanya faktor pendorong dibukukannya al-Qur’an, ii al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dan iii selama proses turunnya al-Qur’an, masih terdapat kemungkinan adanya mansukh. Muḥammad Abd al-Azīm al-Zarqānī, Manāhil al-Irfān…, hlm. 132. 153 yang ditimbulkan oleh orang-orang murtad di bawah pimpinan Musailamah ini mengakibatkan terjadinya perang Yamāmah yang terjadi pada tahun 12 H. Dalam peperangan tersebut, banyak sahabat penghafal Al-Qur‟an yang meninggal hingga mencapai 70 orang, bahkan dalam satu riwayat disebutkan 500 orang. Sementara umat Islam yang gugur dalam peperangan tersebut kurang lebih berjumlah Yamāmah ini menggugah hati Umar bin Khaṭṭāb untuk meminta kepada khalifah Abū Bakar agar Al-Qur‟an segera dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah mushaf. Umar khawatir Al-Qur‟an akan berangsur-angsur hilang bersamaan dengan meninggalnya para penghafalnya. Sekalipun pada awalnya ragu terhadap gagasan Umar ini, tetapi akhirnya Abū Bakar menerimanya, kemudian memerintahkan Zaīd bin Ṡābit untuk segera mengumpulkan Al-Qur‟an dan menulisnya dalam satu Abū Bakar wafat, mushaf terjaga dengan ketat di bawah tanggung jawab Hasanuddin AF, Anatomi…, hlm. 50. Muḥammad Abd al-Azīīm al-Zarqanī, Manāhil al-Irfān…, hlm. 249. Aḥmad Adil Kamāl, Ulūm al-Qur’ān, hlm. 38. Sumber utama dalam penulisan al-Qur’an tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan dicatat di hadapan Nabi SAW. Di samping itu, untuk lebih hati-hati, catatan-catatan serta tulisan-tulisan tersebut harus dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an…, hlm. 55. Selengkapnya, rekaman dialog antara Abū Bakar, Umar bin Khab, dan Zaid bin Sa>bit dapat dilihat pada al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, juz 5 Beirūt Dār al-Ṭibā’at al-Munirriyyat, hlm. 314-315. Umar bin Khaṭṭāb, sebagai khalifah kedua. Di masa Umar bin Khaṭṭāb, mushaf itu diperintahkan untuk disalin ke dalam lembaran ṣaḥīfah. Umar tidak menggandakan lagi ṣaḥīfah itu, karena memang hanya untuk dijadikan naskah orisinil, bukan sebagai bahan hafalan. Setelah seluruh rangkaian penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Ḥafṣah binti Umar istri Rasulullah SAW untuk demikian, dapat dikatakan bahwa Umar bin Khaṭṭāb sebagai penggagas intelektual Intellektuelle Urheber, sedangkan Abū Bakar merupakan orang yang memerintahkan pengumpulan dalam kapasitasnya sebagai penguasa dan menunjuk pelaksana teknis, serta menerima hasil pekerjaan berupa muṣḥaf Al-Qur‟ paparan di atas, minimal terdapat dua motif yang bisa diajukan kaitannya dengan praktek pengumpulan Al-Qur‟an pada masa Abū Bakar. Pertama, motif didasarkan pada kenyataan bahwa Nabi SAW belum mengumpulkan Al-Qur‟an dalam suatu mushaf tunggal hingga wafatnya. Kedua, Mushaf Abū Bakar yang akhirnya disimpan H}afs}ah ini, memiliki ciri-ciri penulisan sebagai berikut 1 seluruh ayat al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama, 2 tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat yang mansukh, dan 3 seluruh ayat yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawatirannya. Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an…, hlm. 55. Dalam hal ini, ada riwayat versi lain yang menyatakan bahwa pengumpulan al-Qur’an itu, pada dasarnya merupakan inisiatif Abū Bakar sendiri, ada juga pendapat bahwa Umar lah pengumpul pertama al-Qur’an, dan tidak ketinggalan pula adanya sejumlah laporan yang ingin mengharmoniskan kedua sudut pandang tersebut. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 147. 154 motif yang didasarkan pada kenyataan wafatnya sejumlah penghafal Al-Qur‟an pada pertempuran Yamāmah yang menimbulkan kecemasan Umar bin Khaṭṭāb akan hilangnya bagian-bagian Al-Qur‟an. Untuk motif pertama, memang dapat dipastikan bahwa Nabi SAW sama sekali tidak meninggalkan kodeks Al-Qur‟an dalam bentuk lengkap dan resmi yang bisa dijadikan pegangan bagi umat Islam, tetapi untuk motif kedua, terdapat beberapa kritik yang ditujukan kepadanya. Telah jelas bahwa terdapat upaya serius dan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk memelihara wahyu dalam bentuk tertulis, seraya tetap berpatokan pada petunjuk-petunjuknya tentang komposisi kandungan kitab suci tersebut. Jadi, wafatnya sejumlah penghafal Al-Qur‟an barangkali bukan merupakan alasan utama untuk mencemaskan hilangnya bagian-bagian Al-Qur‟ samping itu, kritikan yang lebih tajam dikemukakan oleh para pemikir Barat. Sebagaimana keterangan di atas, bahwa jumlah penghafal yang gugur pada peristiwa Yamāmah sebanyak 70 orang bahkan menurut riwayat lain 500 orang. Namun ketika nama-nama para penghafal Al-Qur‟an ditelusuri dalam daftar orang-orang yang gugur seluruhnya berjumlah 1200 orang ternyata hanya ditemukan sejumlah kecil nama yang mungkin menghafal banyak Al-Qur‟an. L. Caetani bahkan menunjukkan yang gugur ketika itu hampir seluruhnya pengikut baru Islam. Sementara Schwally menyebutkan bahwa dari pemeriksaannya terhadap daftar nama-nama penghafal Al-Qur‟an yang gugur, ia hanya menemukan dua orang yang bisa Ibid. dikatakan memiliki pengetahuan Al-Qur‟an yang meyakinkan, yaitu Abdullāh bin Ḥafsh ibn Gānim dan Sālim bin Ma‟qil. Dengan demikian, pengaitan motif pengumpulan Al-Qur‟an pada masa Abū Bakar dengan gugurnya sejumlah besar penghafal Al-Qur‟an dalam pertempuran Yamāmah sangat sulit Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Uṡmān bin Affān Pada masa pemerintahan Uṡmān bin Affān, banyak di antara para sahabat penghafal Al-Qur‟an yang tinggal berpencar di berbagai daerah. Hal ini disebabkan daerah Islam waktu itu sudah semakin meluas. Lebih dari itu, para pemeluk agama Islam di masing-masing daerah tersebut mempelajari serta menerima bacaan Al-Qur‟an dari sahabat ahli qirā‟at yang tinggal di daerah bersangkutan. Penduduk Syām misalnya, berguru dan membaca Al-Qur‟an dengan qirā‟at Ubay bin Ka‟ab, penduduk Kuffah pada Abdullāh bin Mas‟ūd, sementara penduduk Baṣrah pada Abū Mūsū Al-Asy‟ diketahui, bahwa versi qirā‟at yang dimiliki dan diajarkan oleh masing-masing sahabat ahli qirā‟at tersebut satu sama lain berlainan. Hal ini rupanya menimbulkan Ibid., hlm. 148. Ibid., hlm. 147-148. Mengenai kritikan semacam ini Kamaluddin Marzuki memberikan tanggapan bahwa kekhawatiran Umar tidak semata-mata karena terbunuhnya 70 orang penghafal al-Qur’an, tetapi kekhawatiran yang lebih besar adalah jika terjadi pertempuran-pertempuran selanjutnya, akan memakan jumlah korban yang lebih banyak. Kamaluddin Marzuki, Membahas Rasm…, hlm. 73. Hasanuddin AF., Anatoni al-Qur’an…, hlm. 56. 155 dampak negatif di kalangan umat Islam waktu itu, yaitu masing-masing di antara mereka saling membanggakan versi qirā‟at mereka, dan saling mengaku bahwa versi qirā‟at mereka lah yang paling baik dan seperti ini sangat mencemaskan khalifah Uṡmān bin Affān, karenanya ia segera mengundang para pemuda sahabat, baik dari golongan Ansar maupun Muhājirīn. Akhirnya, dari mereka diperoleh suatu kesepakatan, agar mushaf yang ditulis pada masa Abū Bakar disalin kembali menjadi beberapa mushaf dengan dialek hal ini, Uṡmān bin Affān menunjuk suatu tim yang terdiri atas empat orang sahabat pilihan, yaitu; Zaid bin Sābit, Abdullāh bin Zubair, Sa‟īd bin Al-„Āṣ, dan Abdurraḥmān bin Al-Ḥaris bin tim ini menyelesaikan tugasnya, Uṡmān bin Affān segera mengembalikan mushaf orisinal kepada Hafṣah, kemudian beberapa mushaf hasil kerja tim tersebut dikirim ke berbagai kota untuk dijadikan rujukan, terutama ketika terjadi perselisihan tentang qirā‟at Al-Qur‟ān, sementara mushaf-mushaf lainnya yang ada pada saat itu diperintahkan oleh Uṡmān bin Affān untuk mushaf yang ditulis pada masa Abū Bakar tetap tersimpan pada Hafṣah Gambaran mengenai hal ini, sebagaimana terlihat oleh H}uzaifah bin al-Yama>n, ketika ia tengah memimpin penduduk Siria dan Iraq dalam suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 196. Ibid., hlm. 197. M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, hlm. 30. Ibid. sampai akhir hayatnya, setelah itu Marwān bin Al-Hākam w. 65 H wali kota Madinah saat itu, memerintahkan untuk mengambil mushaf tersebut dan umum, ada empat ciri yang dimiliki mushaf Al-Qur‟an yang ditulis pada masa Uṡmān bin Affān, yaitu1. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang tertulis di dalamnya, seluruhnya berdasarkan riwayat mutawatir dari Nabi SAW 2. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat yang mansūkh 3. Surat-Surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib sebagaimana Al-Qur‟an sekarang ini 4. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong kepada Al-Qur‟an, seperti tulisan sahabat Nabi SAW sebagai penjelas. 5. Mushaf-mushaf yang ditulis pada masa Uṣmān tersebut, mencakup tujuh huruf sab‟at Al-aḥruf diturunkannya Al-Qur‟an. Mengenai pengumpulan Al-Qur‟an pada masa Uṡmān bin Affān ini, sebagaimana pada masa Abū Bakar, juga terdapat beberapa kritikan yang bisa diajukan. Penyebutan mushaf Ḥafṣah sebagai basis kodifikasi Usman dinilai sebagai suatu yang meragukan. Perjalanan historis mushaf tersebut dari Abū Bakar ke Umar bin Khaṭṭāb kemudian ke H}afs}ah sebagai warisan lebih menunjukkan karakter personalnya. Suatu Aḥmad Adil Kamāl, Ulūm al-Qur’ān, hlm. 44. Muhammad Sālim Maḥisīn, Tārikh …, hlm. 149. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 149. 156 mushaf orisinil resmi yang pengumpulannya diotorisasi khalifah tentunya tidak logis apabila jatuh ke pemilikan pribadi Hafs}ah, sekalipun ia merupakan putri Khalifah Umar dan istri Nabi SAW. Di samping itu, adanya keterangan yang menyebutkan bahwa mushaf tersebut diminta oleh Marwān bin Al-Hakam untuk dimusnahkan, karena adanya bacaan-bacaan yang tidak lazim sehingga menyebabkan perselisihan, jelas menunjukkan mushaf Ḥafṣah tidak memadai sebagi basis utama untuk kodifikasi tetapi, hal ini tidak menafikan kemungkinan penggunaannya bukan sebagai sumber utama bersama mushaf-mushaf lainnya dalam upaya pengumpulan tesebut. Di samping itu, pemilihan Uṣmān terhadap dialek Quraisy juga mendapat sorotan. Berdasarkan argumen sebagian ulama, bahwa pemilihan Uṣmān terhadap dialek Quraisy, karena Nabi SAW dan para pengikut awal berasal dari suku Quraisy, sehingga mereka tentunya telah membaca Al-Qur‟an dalam dialek suku tersebut. Namun penelitian terakhir tentang bahasa Al-Qur‟an menunjukkan bahwa ia kurang lebih identik dengan bahasa yang digunakan dalam syair-syair pra Islam. Bahasa ini merupakan lingua franca lazimnya disebut „Arābiyyah yang dipahami oleh seluruh suku di jazirah Arab, dan merupakan satu-kesatuan bahasa, karena kesesuaiannya yang besar dalam masalah leksikal maupun gramatik. Oleh sebab itu, W. Montgomery Watt, Richard Bell Pengantar al-Qur’an Jakarta INIS, 1998, hlm. 36. Ibid. bahasa ini bukanlah dialek suku atau suku-suku MUSHAF NON STANDAR DAN MUSHAF STANDAR 1. MUSHAF NON STANDAR Adapun yang dimaksud dengan mushaf non standar di sini adalah mushaf-mushaf selain mushaf Usmani. Telah terbukti –sebagaimana keterangan di atas- bahwa pada masa-masa awal telah ada upaya serius dan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk merekam Al-Qur‟an secara tertulis, sehingga memunculkan beberapa mushaf Al-Qur‟ didasarkan pada kitab Maṣāḥif karya Ibnu Abī Dāwud dan sejumlah manuskrip lainnya, Arthur Jeffery mengklasifikasikan mushaf-mushaf tersebut ke dalam dua kategori utama, yaitu; mushaf primer dan mushaf skunder. Mushaf primer adalah mushaf-mushaf independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat Nabi SAW. Mushaf primer ini berjumlah 15 kodeks, yaitu a. Muṣḥaf Sālim bin Ma‟qīl b. Muṣḥaf Umar bin Khaṭṭāb c. Muṣḥaf Ubay bin Ka‟ab d. Muṣḥaf Ibnu Mas‟ūd Ibid., hlm. 200. Eksistensi mushaf sahabat pra Usmani ini bisa diketahui dari tulisan para mufassir dan filolog awal, ketika merereferensi mushaf-mushaf tersebut dengan ungkapan-ungkapan; “dalam beberapa mushaf lama” fī ba’ḍ al-Maṣāḥif, “mushaf Basrah” dinisbatkan kepada kota, ataupun “muṣhaf Ibnu Mas’ūd” dinisbatkan kepada pemiliknya. Dikutip dari Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi …, hlm. 157. Ibid., 158. 157 e. Muṣḥaf Alī bin Abī Ṭālib f. Muṣḥaf Abū Mūsā Al-Asy‟arī g. Muṣḥaf Hafṣah binti Umar h. Muṣḥaf Zaid bin Ṡābit i. Muṣḥaf Ā‟isyah binti Abū Bakar j. Muṣḥaf Ummu Salāmah k. Muṣḥaf Abdullāh bin Amr l. Muṣḥaf Ibnu Abbās m. Muṣḥaf Ibn Al-Zubair n. Muṣḥaf Ubaid bin Umair o. Muṣḥaf Anas bin Mālik Sedangkan mushaf skunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang sangat bergantung didasarkan pada mushaf-mushaf primer serta mencerminkan tradisi bacaan kota-kota besar. Mushaf skunder ini berjumlah 13 mushaf, yaitu a. Muṣḥaf Alqama ibn Qais b. Muṣḥaf Al-Rabi‟ bin Khutsam c. Muṣḥaf Al-Ḥāris bin Suwaid d. Muṣḥaf Al-Aswd bin Yazīd e. Muṣḥaf Ḥittān f. Muṣḥaf Ṭalhah bin Muṣarrif g. Muṣḥaf Al-A‟masy h. Muṣḥaf Sa‟īd bin Jubair i. Muṣḥaf Mujāhid j. Muṣḥaf Ikrimah k. Muṣḥaf Aṭā‟ bin Abī Rabi‟ah l. Muṣḥaf Ṣāliḥ bin Kaisān m. Muṣḥaf Ja‟far Al-Ṣādiq Dari semua mushaf di atas primer/skunder, dalam tenggang waktu sekitar 20 tahun mulai wafatnya Nabi SAW sampai pengumpulan Al-Qur‟an, hanya sekitar empat mushaf sahabat yang berhasil memapankan pengaruhnya di kalangan masyarakat Islam. Keempat sahabat itu adalah Ubay bin Ka‟ab kumpulan Al-Qur‟annya berpengaruh di sebagian besar Siria, Abdullāh bin Mas‟ūd kumpulan Al-Qur‟annya mendominasi Kuffah, Abū Mūsā Al-Asy‟arī mushafnya berpengaruh di Bashrah, dan Miqdād bin Aswad mushafnya diikuti masyarakat Hims.2. MUSHAF STANDAR Mushaf standar di sini maksudnya adalah mushaf Usmani. Mengenai mushaf Usmani ini, di samping proses kesejarahannya di atas, ada beberapa hal yang juga menarik untuk dibahas lebih lanjut. 1. Karakteristik Mushaf Usmani Dalam hal ini, ada sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa susunan surat dalam mushaf Usmani menempatkan surat-surat panjang terlebih dahulu kemudian baru surat-surat pendek adalah bersifat seperti ini, tampak jelas terekam dalam pernyataan Al-Ya‟qūbi “Uṡmān bin Affān mengkodifikasikan Al-Qur‟an, menyusun, dan mengumpulkan surat-surat Keempat mushaf di atas, banyak mempunyai perbedaan dengan mushaf Usmani, baik dari segi vokalisasi bentuk konsonan, pemberian titik-titik diakritis pembeda lambang-lambang konsonan, penambahan/pengurangan kata, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya lihat Ibid., hlm. 160-189. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Mālik bin Anas, Abū Bakar al-Baqillānī, dan Abū al-H}usain Ah}mad bin Faris. Di samping itu, ada juga yang berpendapat sebaliknya, seperti Abū Bakar al-Anbari, Abū Ja’far al-Nuhas, dan al-Thibi. Pendapat ini diikuti oleh jumhur. Hasanuddin AF., Anatomi al-Qur’an…, hlm. 76-78. 158 panjang dengan surat-surat panjang dan surat-surat pendek dengan surat-surat pendek”. Dengan demikian, sistem penyusunan surat dalam mushaf Uṣmān pada dasarnya sama dengan model penyusunan sahabat-sahabat lainnya, seperti Alī bin Abī Ṭālib, Ibnu Mas‟ūd, dan Ubay bin Ka‟ab, kecuali Ibnu Abbās yang menyusun secara sistem penyusunan surat Al-Qur‟an dalam mushaf Usmani dimulai dari yang surat panjang ke arah surat yang pendek, namun terdapat dua tempat di mana sistem ini mengalami inkonsistensi yaitu; pertama, surat pendek Al-Fātiḥah ditempatkan paling awal di depan surat paling panjang Al-Baqarah dan kedua, penempatan surat terpendek surat Al-„Aṣr bukan pada penghujung mushaf. Jumlah keseluruhan surat dalam mushaf Usmani adalah 114 surat dengan nama-nama yang beragam. Dalam hal ini, tidak ada kesepakatan formal di kalangan ulama mengenai penamaan surat-surat tersebut, sekalipun sekuensi tata urutannya telah ditetapkan secara definitif dalam mushaf Usmani. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa nama-nama yang diberikan kepada surat-surat itu bukanlah bagian dari Al-Qur‟an. Tidak jelas kapan munculnya nama-nama surat yang beragam itu, namun dapat dikemukakan dugaan bahwa segera setelah adanya kodifikasi Al-Qur‟an, timbul kebutuhan untuk pemberian nama-nama surat guna mempermudah perujukannya dan sekitar pertengahan abad ke –8 dapat dipastikan Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 211. bahwa nama-nama surat yang beragam itu telah Stabilitasi Teks dan Bacaan Al-Qur’an Mushaf Usmani a. Stabilitasi Teks Al-Qur’an Mushaf Usmani Proses stabilitasi teks Al-Qur‟an ini diawali dengan standardisasi mushaf Usmani dan dicapai dengan upaya eksperimental untuk menyempurnakan aksara Arab. Memang, upaya ini pada akhirnya mencapai titik puncak pada penghujung abad ke-3/9 H dan berhasil memaparkan bentuk teks Al-Qur‟an yang lebih memadai. Namun, sebelum itu terdapat masalah serius yang harus dihadapi. Sebagaimana paparan di atas, bahwa alasan utama di balik kodifikasi Al-Qur‟an pada masa Uṡmān bin Affān adalah perbedaan tradisi teks dan bacaan yang mengarah kepada perpecahan politik umat Islam, akan tetapi karena ketidaksempurnaan aksara Arab yang digunakan untuk menyalin Al-Qur‟an waktu itu, maka langkah tersebut tidak langsung mencapai hasil yang diidealkan. Bentuk aksara-aksara atau ortografi Arab lama scriptio defectiva yang digunakan untuk menyalin Al-Qur‟an ketika itu tidak adanya tanda-tanda vokal dan adanya sejumlah konsonan berbeda dalam akasara dilambangkan dengan simbol-simbol yang sama, masih membuka peluang bagi seseorang untuk membaca teks kitab suci secara beragam. Hal ini bisa dilacak pada berbagai perbedaan bacaan yang eksis dalam qirā‟at Al-sab‟ah dan berbagai bacaan non Ibid., hlm. 212. 159 Usmani lainnya. Sebagai contoh; kerangka konsonantal bentuk grafis dalam Qs. Al-Baqarah 259, telah dibaca  nunsyizuhā dalam qirā‟at Āṣim yang diriwayatkan Ḥafsh, sementara dalam qirā‟at Nāfi‟ yang diriwayatkan Warsy dibaca  nunsyiruhā. Perbedaan pemberian titik diakritis ini sama sekali tidak mempengaruhi makna keseluruhan ayat, karena kedua kata itu memiliki makna sinonim, yakni “membangkitkan”.Demikian pula kerangka konsonantal  QS. Al-Māidah 54; dalam qira‟at pertama dibaca  yartadda, sedangkan dalam qira‟at kedua dibaca . yartadid. Perbedaan ini pun tidak memiliki efek apa pun terhadap makna ayat, karena merupakan masalah asimilasi mumaāṡalah.Jika ilustrasi di atas, merupakan perbedaan pemberian titik diakritis terhadap kerangka konsonantal yang sama, maka berikut ini adalah ilustrasi perbedaan vokalisasi. Sebagai contoh lafaz   QS. Al-Baqarah125. Dalam riwayat H}afsh} terbaca   wattakhażū, sedangkan dalam riwayat Warsy terbaca   wattakhiżū. Dalam kasus ini pun tidak terjadi perbedaan makna yang mendasar, selain masalah pernyataan langsung kalām mubāsyir/kalimat langsung atau pelaporan suatu tindakan kalām ghairu mubāsyir/kalimat tidak langsung.Memang ilustrasi-ilustrasi perbedaan pemberian titik-titik diakritis ini, baik untuk kerangka konsonantal maupun vokalisasi tidak Ibid., hlm. 274. Ibid. Ibid. mengakibatkan munculnya perbedaan makna yang signifikan, tetapi dalam beberapa kasus lainnya bisa juga memunculkan perbedaan makna yang signifikan khususnya dalam penyimpulan hukum. Sebagai contoh, rangkaian konsonan QS. Al-Baqarah222, oleh Hamzah, Al-Kisā‟ī, dan „Āṣim riwayat Syu‟bah dibaca  yaṭṭahharnā, sedangkan Ibnu Kaṡīr, Nāfi‟, Abū Amr, dan „Āṣim riwayat Ḥafṣ membacanya sebagai  yaṭhurnā. Makna bacaan pertama adalah bersuci larangan mencampuri istri yang haid hingga mereka bersuci mandi setelah haid. Sementara, makna bacaan kedua adalah suci larangan menggauli istri yang sedang haid hingga darah haid berhenti. Dengan demikian, dari semua penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa penyebab timbulnya perbedaan bacaan Al-Qur‟an adalah tulisan yang digunakan untuk menyalin mushaf usmani ketika jauh, adanya perbedaan pembacaan teks Al-Qur‟an yang disalin dengan scriptio defectiva, memunculkan gagasan penyempurnaan rasm Al-Qur‟ hal ini, ulama berbeda pendapat Namun kesimpulan seperti ini, tidak diterima mayoritas sarjana Islam. Menurut merekaberbagai perbedaan bacaan qirā’at mutawātir hingga masyhūr merupakan bacaan yang bersumber dari Nabi SAW dan karenanya memiliki otoritas ilahiyah. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwasejumlah besar pembaca qurrā’ al-Qur’an yang tersebar di berbagai wilayah Islam tidak mungkin bersepakat pada suatu kekeliruan. Dengan demikian, teks tertulis hanya memiliki peran yang sangat terbatas. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 276. Rasm di sini artinya kesatuan atau pola yang digunakan Usmān bin Affān bersama sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan al-Qur’an. Hasanuddin AF., Anatomi al-Qur’an…, hlm. 79. 160 tentang para pelakunya. Namun, pada umumnya disebutkan bahwa pada masa kekhalifahan Mu‟āwiyah bin Abī Sufyān 661-680, langkah ke arah penyempurnaan tersebut mulai bin Sāmiyah w. 673 yang ketika itu sebagai Gebernur Basrah, meminta Abū Aswad Al-Du‟alī 605-688 agar menciptakan tanda-tanda baca dan membubuhkannya ke dalam mushaf untuk menghindari berbagai kekeliruan pembacaan. Al-Du‟alī sendiri, secara tidak langsung telah memenuhi permintaan Zaid, sebagaimana dalam suatu peristiwa ketika Al-Du‟alī mendengar sendiri seseorang keliru membaca bagian Al-Qur‟an QS. 93    . Kekeliruan pembacaan dalam ayat ini terletak pada vokalisasi kata rasūluhu menjadi rasūlihi, yang mengakibatkan adanya perubahan makna sangat substansial. Ketika bagian Al-Qur‟an itu dibaca secara benar “rasūluhu”, maka maknanya adalah “Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang yang musyrik. Tetapi, ketika kata itu dibaca “rasūlihi”, maka maknanya akan berubah menjadi “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang yang musyrik dan dari rasul-Nya”.Dalam langkah penyempurnannya, rasūluhu kemudian memperkenalkan tanda-tanda vokal yang penting, yakni titik di atas huruf untuk vokal a fatḥah, di bawah huruf untuk vokal i kasrah, titik di sela-sela atau di depan huruf untuk vokal u ḍammah, dua titik untuk vokal rangkap tanwīn, dan untuk Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…,hlm. 280. Ibid., hlm. 281. konsonan mati sukūn, tidak dibubuhkan tanda apa pun. Tanda-tanda vokal ini, dalam penulisan mushaf diberi warna yang berbeda dari warna hurufnya. Menurut sebagian riwayat, tidak seluruh huruf dalam mushaf diberi tanda vokal, tanda-tanda ini hanya dibubuhkan pada huruf-huruf terakhir tiap kata, atau pada huruf-huruf tertentu yang berpeluang terhadap masa kekhalifahan Abbasiyah, tanda-tanda vokal yang diciptakan Al-Du‟alī, kemudian disempurnakan lebih jauh oleh Al-Khalīl bin Aḥmad 715-786, seorang pakar bahasa Basrah dan merupakan sarjana pertama yang menyusun kamus bahasa Arab serta pengembang aturan-aturan yang dilakukan Al-Khalīl adalah membubuhkan huruf alif kecil di atas huruf untuk tanda vokal a, huruf ya‟ kecil di bawah untuk vokal i, huruf waw kecil di depan huruf untuk vokal u, menggandakan tanda-tanda vokal ini untuk melambangkan vokal rangkap tanwīn, membubuhkan kepala huruf ha di atas huruf untuk tanda sukun. Sementara untuk tanda konsonan rangkap syaddah, ditempatkan kepala huruf sin. Dari tanda-tanda vokal yang diintroduksi Al-Khalīl inilah, kemudian dilakukan penyempurnaan akhir, sehingga mengambil bentuk yang dikenal dewasa ini. Adapun untuk tanda-tanda pembeda konsonan, upaya pengintroduksiannya mulai dilakukan pada masa pemerintahan Abd Al-Mālik bin Marwān 685-705 dari bani Ibid. hlm. 281-282. Ibid. 161 Umāyah. Seorang gubernur Irak waktu itu, Al-Ḥajjaj bin Yūsuf demi menghilangkan berbagai kekeliruan pembacaan Al-Qur‟an, menugaskan dua ahli bahasa terkenal ketika itu; Naṣr ibn „Āṣim w. 708 dan Yaḥyā bin Ya‟mūr w. 747 –keduanya adalah murid Al-Du‟alī- menyempurnakan pekerjaan gurunya, yaitu mengupayakan pembedaan konsonan-konsonan bersimbul sama dengan mengintroduksi titik-titik diakritis untuk pembedaan tersebut. Sebagai contoh, kerangka konsonan ha, supaya bisa dibaca kha diberi satu titik di atasnya, atau satu titik di bawahnya untuk melambangkan jim, dan konsonan dasar yang tidak bertitik merepresentasikan konsonan ha‟. Demikian pula, pembubuhan titik-titik diakritis pada konsonan-konsonan lainnya, sebagaimana yang kita kenal saat ini. Dalam tahapan ini, titik-titik diakritis ini diwarnai dengan tinta yang sama untuk menulis huruf, sehingga bisa dibedakan dari titik-titik yang diintroduksi Al-Du‟alī untuk vokalisasi teks. Dalam tahapan ini pula, bisa dikatakan bahwa permasalahan seputar aksara Arab telah terselesaikan. b. Stabilitasi Bacaan Al-Qur’an Mushaf Usmani Sebagaimana standardisasi Al-Qur‟an mushaf Usmani dilakukan dengan stabilitasi teks, maka eksisnya stabilitasi teks ini juga mengarah pada stabilitasi bacaan Al-Qur‟an. Adanya pemusnahan seluruh bentuk teks non-Usmani, ternyata tidak menghilangkan keseluruhan tradisi pembacaannya. Sebagian umat Islam masih tetap memelihara bacaan- Ibid. bacaan non-Usmani. Dari sini, pada dasarnya umat Islam terpecah ke dalam dua gerakan pro dan penentang standardisasi teks/bacaan Al-Qur‟an, namun akhirnya keduanya sama-sama mencapai tujuannya dalam bentuk kompromi. Pada tataran praktis, teks Usmani berhasil memapankan diri sebagai satu-satunya teks Al-Qur‟an yang disepakati textus receptus, sementara dalam teori, bentuk-bentuk riwayat bacaan non-Usmani juga diakui keberadaannya sebagai bacaan Al-Qur‟an. Namun dalam perkembangannya, bentuk kompromi seperti ini tidak bertahan lama. Kecenderungan yang kuat ke arah penyeragaman univikasi bacaan Al-Qur‟an semakin mengental dengan penerimaan teks Usmani sebagai satu-satunya teks Al-Qur‟an pada dataran praksis. Kecenderungan tersebut ditandai dengan sikap Imam Mālik bin Anas yang menolak secara tegas terhadap keabsahan penggunaan bacaan Ibnu Mas‟ūd dalam shalat, sekitar abad 2 ini terus berlanjut, hingga tahap selesainya proses penyempurnaan aksara Arab abad ke-3 H. Sekitar awal abad ke-4 H berbagai keragaman bacaan mulai disaring dengan textus receptus sebagai batu uji. Hasilnya, dengan dukungan penuh otoritas politik, ortodoksi Islam Ibid., hlm. 305. Ibid, hlm. 306. Adapun kriteria-kriteria yang dibangun adalah keselarasan bacaan dengan teks mushaf Usmani, keselarasan dengan kaedah bahasa Arab, dan mutawatir prinsip tentang transmisi suatu bacaan melalui mata rantai periwatyatan yang independen dan otoritatif dalam skala yang sangat luas, sehingga menafikan kemungkinan terjadinya kesalahan. Al-Suyuṭī, al-Itqān Fī Ulūm al-Qur’ān, hlm. 77. 162 membatasi dan menyepakati eksistensi qirā‟ah sab‟ahyang dihimpun Abū Bakar Ah}mad bin Mūsā Al-Abbās ibn Mujāhid w. 935 sebagai bacaan-bacaan SIMPULAN Berdasarkan semua penjelasan di atas, ternyata sejarah pembukuan Al-Qur‟an tidak sesederhana yang diasumsikan umumnya umat Islam. Sebab dalam proses itu, ada problem transmisi dari tradisi lisan ke tradisi tulis. Secara umum, ada perbedaan esensial antara penulisan Al-Qur‟an yang dilakukan pada masa Nabi SAW dengan penulisan Al-Qur‟an yang dilakukan pada masa Abu Bakar, ataupun Umar bin Khaṭṭāb. Pada masa Nabi SAW, penulisan Al-Qur‟an dilakukan untuk mencatat dan menulis setiap wahyu Al-Qur‟an yang diturunkan kepada Nabi SAW, dengan menertibkan ayat-ayatnya dalam surat-surat tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi SAW. Pada masa Abū Bakar, penulisan Al-Qur‟an dilakukan untuk menghimpun dan menyalin kembali catatan-catatan Al-Qur‟an yang ada ke dalam satu mushaf, dengan tertib surat-suratnya menurut urutan turunnya wahyu. Faktor pendorongnya adalah kekhawatiran akan adanya kemungkinan hilangnya sesuatu dari Al-Qur‟an, dikarenakan banyaknya para sahabat Disepakatinya qirā’ah sab’ah sebagai bacaan otentik ini, di samping karena memenuhi kriteria-kriteria di atas, juga pada faktanya qirā’ah sab’ah mencerminkan sistem-sistem pembacaan al-Qur’an yang populer dan berlaku di berbagai wilayah utama Islam. Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi…, hlm. 308. penghafal Al-Qur‟an yang gugur di medan perang. Pada masa Umar bin Khaṭṭāb, penulisan Al-Qur‟an dilakukan untuk menyalin mushaf yang ditulis pada masa Abū Bakar, menjadi beberapa mushaf dengan tertib ayat maupun suratnya, sebagaimana yang ada sekarang ini. Faktor pendorongnya adalah untuk menghilangkan perpecahan di kalangan umat Islam yang disebabkan perbedaan qirā‟at Al-Qur‟ān di antara mereka. Dari ketiga proses kesejarahan ini, mengantarkan mushaf Usmani kepada standardisasi dan stabilitasi, baik teks dan bacaannya, hingga tetap eksis sampai saat ini. Namun dari proses tersebut, juga tidak menutup kemungkinan meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya. Dalam konteks ini, barangkali relevan dimunculkannya gagasan tentang desakralisasi rasm Usmānī. Bukankah suatu bentuk “tulisan” merupakan produk budaya, yang berhak dikritisi sekaligus direvisi edit? Demikian, lontaran asumsi yang dikemukana para penggagas desakralisasi tersebut. E. DAFTAR PUSTAKA AF., Hasanuddin, Anatomi Al-Qur‟an Perbedaan Qira‟at dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-Qur‟an, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995 Al-Bukhārī, Saḥīḥ Al-Bukhārī, juz 5, Beirūt Dār Al-Ṭibā‟at Al-Munirriyyat, Al-Ibyarī, Ibrāhīm, Pengenalan Sejarah Al-Qur‟an, terj. Saad Abdul Wahid, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1993 163 Kamāl, Aḥmad „Ādil, Ulūm Al-Qur‟ān, Maḥisīn, Muḥammad Sālim, Tārikh Al-Qur‟ān Al-Karīm, tp. , Mannā‟, Khalīl Al- Qaṭṭān, Mabāḥiṡ Fī Ulūm Al-Qur’ān, tp., Al-Ṣāliḥ, Subḥi, Mabāḥiṡ Fī Ulūm Al-Qur’ān, Dār Al-Ilm Li Al-Malāyin, Shihab, M. Quraish dkk., Sejarah dan Ulumul Qur‟an, Jakarta Pustaka Firdaus, 2000 Al-Suyūṭī, Jalāluddīn, Al-Itqān Fī „Ulūm Al-Qur’ān, Beirūt Dār Al-Fikr, Watt, W., Montgomery, Richard Bell Pengantar Al-Qur‟an, Jakarta INIS, 1998 Al-Zarqānī, Muḥammad Abd Al-Aẓīm, Manāhil Al-„Irfān Fī Ulūm Al-Qur’ān, Mesir Isā Al-Bābi Al-Ḥalabī, ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Perbedaan Qira"at dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-Qur"an, Jakarta PT. Raja Grafindo PersadaA F HasanuddinAnatomi Al-QurAF., Hasanuddin, Anatomi Al-Qur"an Perbedaan Qira"at dan Pengaruhnya Terhadap Istimbath Hukum Dalam Al-Qur"an, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995Sejarah dan Ulumul Qur"anM ShihabQuraishShihab, M. Quraish dkk., Sejarah dan Ulumul Qur"an, Jakarta Pustaka Firdaus, 2000Ulūm Al-Qur'ān, Beirūt Dār Al-FikrAl-SuyūṭīAl-Itqān JalāluddīnFīAl-Suyūṭī, Jalāluddīn, Al-Itqān Fī "Ulūm Al-Qur'ān, Beirūt Dār Al-Fikr, Kitab suci Al-Qur’an yang ada di tangan setiap muslim saat ini adalah wahyu dari Allah tanpa keraguan sedikitpun. Wahyu itu diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan bertahap dari ayat ke satu ayat dari surat ke surat lainnya. Pertanyaannya, mushaf yang saat ini siapa yang menyusun urutannya baik ayat, surat maupun penamaan suratnya? Urutan ayat Al-Quran dalam suratnya masing-masing ditetapkan berdasarkan tauqifi ketetapan Rasul atas petunjuk wahyu. Jibril atas titah Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW. untuk meletakkan ayat pada tempatnya masing-masing. Lalu, Nabi Muhammad SAW. pun memerintahkan sekretarisnya untuk melaksanakan titah itu. Di dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan ketiga orang pemilik kitab As-Sunan dari riwayat Ibnu Abbas, dari Utsman bin Affan, dijelaskan bahwa apabila turun ayat kepadanya, Nabi memanggil sebagian sekretarisnya dan bersabda, “Ietakkanlah ayat ini pada surat yang di dalamnya terdapat ini… ini…” Hadis ini memberi kepastian kuat bahwa susunan ayat pada mushaf Utsmani berasal dari bacaan Nabi Muhammad SAW. Dalam kaitan ini pun para ulama telah sepakat bahwa susunan ayat itu bersifat tauqiji dan didukung oleh nash-nash yang sahih. Di antara hadis yang mendukungnya adalah sebagai berikut. Al-Bukhari telah mengeluarkan sebuah Hadits dari Ibnu Az-Zubair. Ibnu Az-Zubair berkata kepada Utsman bin Affan, Ayat 240 dari surat Al-Baqarah telah di-nasakh oleh ayat lain, lalu mengapa engkau tetap menulisnya?” Utsman menjawab, ”Wahai anak saudaraku, saya tidak akan mengurangi satu ayat pun dari tempatnya.” Ibnu Az-Zubair paham bahwa ayat yang telah di-nasakh seharusnya tidak ditulis, tetapi Utsman pun paham bahwa perintah penetapan ayat pada tempatnya ditetapkan berdasarkan tauqifi dan tidak ada seorang pun dapat mengeluarkan sebuah hadis dari Umar. Umar berkata, ”Aku belum pernah bertanya kepada Nabi sesering pertanyaanku tentang kalalah sampai beliau menunjuk dadaku dan bersabda, Tidak cukupkah engkau dengan ayat Al-Shaif pada akhir surat An-Nisa. Siapa yang Menyusun Urutan Surat al-Qur’an? Jika urutan san susunan ayat sudah tidak ada perbedaan bahwa itu atas petunjuk Allah kepada Nabi, bagaimana dengan urutan surat al-Qur’an? Susunan surat Al-Quran, sebagaimana diketahui bahwa susunannya dalam mushaf Utsmani tidak mengikuti kronologi turunnya. Surat Al-Alaq yang pertamakali turun misalnya, diletakkan pada urutan surat ke-96, sedangkan urutan pertama ditempati oleh surat Al-Fatihah. Dalam hal ini para ulama terbagi dalam beberapa kelompok Pertama, yang berpendapat bahwa susunan surat Al-Quran ditetapkan atas perintah Nabi tauqifi. Tidak semata-mata sebuah surat diletakkan pada tempatnya, kecuali atas dasar perintah, pengajaran, dan isyarat Nabi. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Abu Ja’far bin An-Nuhhas, Al-Kirmam, Ibnu Al-Hashshar, dan Abu Bakr Al-Anbari. Di antara Argumentasi yang diajukan oleh kelompok ini 1. Para sahabat telah sepakat untuk menerima susunan mushaf Al-Quran yang ditulis pada masa Utsman bin Affan. Tidak ada seorang sahabat pun yang menentangnya, termasuk para sahabat yang memiliki mushaf dengan susunan yang berbeda. Seandainya susunan surat tidak bersifat tauqifi, tentunya tiap-tiap sahabat akan bersiteguh mempertahankan mushafnya masing-masing. Menyesuaikan dengan susunan mushaf Utsmani yang dilakukan oleh para sahabat yang memiliki mushaf, bahkan sampai membakarnya, merupakan indikasi kuat bahwa susunan surat pada mushaf Utsmani tidak masuk dalam lapangan ijtihad. Ke-tauqifan-nya tidak diperlihatkan oleh nash slmrih dari Nabi, tetapi cukup pekerjaan dan isyarat. 2. Surat-surat yang tergabung ke dalam kelompok hawamim disusun secara berurut, sedangkan ayat-ayat yang masuk ke dalam kelompok mutasyabihat tidak disusun secara berurutan, tetapi terpisah-pisah. Letak surat Tha Sin Mim Asy-Syu’ara Tha Sin Mim Al-Qassas, dan Tha Sin Mim An-Nahl terpisah, padahal surat Tha Sin Mim Al-Qassas lebih pendek daripada surat Tha Sin Mim An-Naml. Seandainya susunan surat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pasti surat-surat yang masuk ke dalam kelompok mutasyabihat diletakkan secara berurut, dan surat Tha Sin Mim An-Naml diletakkan lebih akhir daripada surat Tha Sin Mim Al-Qashas. Kedua, berpendapat bahwa susunan surat Al-Quran ditetapkan atas dasar ijtihad para sahabat. As-Suyuthi menyebutkan bahwa pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik dan Abu Bakr Ath-Thayyib. Mereka berargumentasi dengan kenyataan perbedan susunan mushaf para sahabat pada masa Utsman bin Affan sebelum pengodifikasian Al-Quran. Menurut mereka, seandainya susunan surat Al-Quran bersifat tauqifi, tidak akan ada perbedaan di antara shabat dalam menyusun surat dalam mushafnya masing-masing. Pada kenyataannya, mereka berbeda-beda. Sebagian menyusunnya berdasarkan kronologi turun, seperti mushaf ’Ali Mushaf ini diawali dengan surat Iqra’, lalu Al-Muddassir, Nun, Al-Muzzammil, Tabbat, Al-Kausar, Sabbaha, begitu terus sampai akhir surat Makkiyyah, laiu disusul oleh surat-surat Madaniyyah. Mushaf Ibnu Mas’ud diawali oleh surat Al-Baqarah, An-Nisa, Ali Imran, Al-A’raf, Al-An’am, Al-Maidah, Yunus, dan seterusnya. Adapun mushaf Ubay bin Ka’ab diawali oleh surat Al-Hamd, Al-Baqarah, An-Nisa’, Ali Imron, Al-An’am, Al-A’raf, Al-Maidah, dan seterusnya. Pendapat ini dapat dibantah sebagai berikut. Perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat dalam menyusun surat dalam mushafnya masing-masing tidak dapat dijadikan sebagai argumentasi bahwa susunan surat tidak bersifat tauqifi. Alasannya, mushaf mereka tidak dipersiapkan sebagai pegangan umum, tetapi lebih hanya sebagai mushaf pribadi yang di dalamnya disertakan pula problem-problem keilmuan, takwil, dan sebagian atsar. Ia Iebih pantas dinamai kitab ihnu dan takwil daripada mushaf. Atas alasan itu, kitab-kitab itu tidak dijadikan standar rujukan ketika Utsman melakukan kodifikasi Al-Quran. Selain itu, boleh jadi, perbedaan itu terjadi sebelum mereka tahu bahwa susunan surat bersifat tauqifi Setelah tahu, mereka mengubahnya sesuai dengan susunan yang terdapat pada mushaf Utsmani. Siapa yang Menetapkan Penamaan Surat Adapun mengenai penetapan nama-nama surat, ada ulama yang mengatakan bersifat tauqifi, ada pula yang mengatakan ijtihadi, tetapi pendapat pertama lebih banyak dianut mayoritas ulama As-Suyuthi berkata, ”Semua nama surat ditetapkan atas dasar hadis dan atsar.” Dalam persoalan yang sama, As-Suyuthi berkata, ”Umumnya sebuah surat dinamai dengan kisah-kisah nabi yang ada di dalamnya, seperti surat Nuh, surat Hud, surat Ibrahim, surat Yunus, surat Ali- Imron, surat Sulaiman, surat Yusuf, surat Muhammad, surat Maryam, surat Luqman, surat Al-Mu’min, dan kisah beberapa kelompok, seperti surat Bani Isra’il, surat Al-Kahf, surat Al-Hijr, surat Saba’, surat Al-Mala’ikah, surat Al-Jinn, surat Al-Munéfiqu, dan surat Al-Mutaffifin. Akan tetapi, tidak ditemukan sebuah surat yang bernama Musa. Alasannya, namanya banyak diulang-ulang dalam Al-Quran sehingga ada yang mengatakan bahwa Al-Qur’an hampir semuanya untuk Nabi Musa. Sebenarnya, surat yang paling layak dinamai Musa adalah surat Taha, surat Al-Qashas, dan surat Al-A’raf karena ketiganya memuat uraian kisah Nabi Musa lebih banyak daripada surat-surat lainnya. Demikian pula, banyak dituturkan dj beberapa surat dan tidak ada satu surat pun yang dinamai dengannya. Seolah-olah cukup dengan nama Al-Insan. Tema-tema terkait dengan Al-Qur'anul Karim dari sisi sebab turunnya, tajwid, tafsir ayat, mukjizat, keutamaan Qur'an, surat-surat dan ayat-ayatnya, serta hukum mushaf dan tulisannya, dan tema lainnya Membatalkan Mengikuti Jakarta - Pertanyaan seputar Alquran dan hikmahnya kerap dilontarkan sejumlah pembaca forum question and answer detikRamadan setiap tahunnya. Berikut sejumlah pertanyaan dan jawaban yang sudah dirangkum di halaman khusus yang mengulas hal tanya jawab seputar Alquran dan Bagaimana cara mencintai Alquran?Kita bisa mencintai Alquran kalau kita mengenal Alquran seperti peran Alquran bagi seorang Muslim, memahami isinya, dan lain-lain. Ada pepatah tak kenal maka tak sayang. Faizah Ali Sibromailisi, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran2. Mengapa ayat Alquran sering sama dan berulang?Alquran bukanlah sebuah kitab ilmiah seperti kitab-kitab lainnya yang dikenal para ilmuwan. Ia adalah kitab dakwah yang turun berinteraksi dengan masyarakat. Karena itu, pengulangan perintah dan larangannya atau kisah-kisahnya menjadi sangat Anda dapat saja mengulang perintah atau kisah yang sama kepada seseorang tertentu, bila Anda mengetahui bahwa dia belum melaksanakannya secara sempurna atau menangkap pesan Anda? Ini kalau memang benar dugaan Anda bahwa ada pengulangan kisah di dalam kenyataannya tidak demikian. Misalnya, kisah Musa banyak sekali ditemukan dalam berbagai surat Alquran. Jika Anda mengamati redaksinya, Anda pasti menemukannya berbeda. Dan informasi yang diberikannya pun tidak sepenuhnya sama, terlebih lagi pesan-pesan yang tersirat di dalamnya. Sebab, dalam berbagai kisahnya, Alquran ingin menekankan pesan-pesan tertentu. Tidak jarang sebuah kisah mengandung sekian banyak pesan, tetapi tidak dapat ditampung dalam satu redaksi saja. Demikianlah di antara hikmah 'pengulangan' kisah-kisah dalam Alquran. Demikian, wallahu a'lam.M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Alquran

pertanyaan sulit tentang pengumpulan al qur an